Cerpen
[CERPEN] Sepotong Kisah di Penghujung Senja Kota Madiun
“Sedangkan Tara sendiri selama ini hanya merengek-rengek dan bermalas-malasan tetapi maunya mendapat hidup enak.”
Sepotong Kisah di Penghujung Senja Kota Madiun
Cerpen Karangan: Nur Laily Regitasari
Sementara
Tara berhenti di Ringroad Kota Madiun. Di bawah langit jingga ini, ada senja
yang harus dia sapa. Terlalu banyak senja yang Tara nikmati, namun belum pernah
ia melewati senja yang kan membawa pada kehidupan bersama kedua orang tuanya
seperti sedia kala. Senja menyadarkan Tara bahwa sesuatu yang indah dan nikmat
dari Tuhan hanyalah sementara. Tara melamun setelah mengingat kedua orang
tuanya yang telah tiada. Bukan senja namanya jika tak membawa sendu dan bukan
senja namanya jika tak menghadirkan rindu yang semakin menggebu di dalam kalbu.
Kini yang tersisa hanya pilu karena lembaran kisahnya yang dulu telah menjadi
abu.
“Mari
dibeli Bapak.. Ibuu…!!!”
Suara
sayup terdengar dari seseorang yang tengah menawarkan barang dagangannya.
Perlahan, suara itu makin kencang dan berhasil memecahkan lamunan Tara. Dia
mencari-cari suara itu dan dia menemukan lelaki tua berbaju biru di sudut
persimpangan jalan. Ia duduk di samping keranjang dagangannya. Penglihatan Tara
yang terlalu fokus menatapnya hingga tampak pula rambut hitamnya yang mulai
pudar, kulitnya yang kering dan keriput, juga napasnya yang terengah-engah
sembari berteriak menawarkan dagangannya.
Kemudian
terbesit di pikiran Tara untuk menyapanya. Tara mencoba membuka suara, menembus
bisingnya suara kendaraan.
“Jualan
apa, Pak?”, tanya Tara mengawali.
“Tawas
Nak, mau beli?”, Ia melontarkan pertanyaan yang Tara sambut dengan senyum
sembari menganggukkan kepala. Meskipun Tara sendiri tak tahu harus dia apakan
tawas itu nantinya.
“Mau
beli berapa kilo Nak?”, tanya si penjual.
“Setengah
kilo saja, Pak”, tutur Tara.
Lalu,
lelaki itu dengan tangan keriputnya membungkuskan tawas. Ia masukkan ke dalam
kantong plastik berwarna hitam dan disodorkannya kepada Tara.
“Berapa
harganya, Pak?”, Tanya Tara
“Delapan
ribu rupiah, Nak”, jelas Bapak.
Tara
menyerahkan selembar uang bergambar Frans Kaisiepo padanya. Kemudian penjual
itu merogoh saku kecilnya mencari kembalian untuk Tara. Namun ternyata nihil.
“Maaf
Nak, tak ada kembalian”, lirihnya
“Tak
apa, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja”, jawab Tara sembari melengkungkan bibir
mungilnya.
“Sebentar.
Saya carikan dulu ya kembaliannya”, sahut Bapak.
“Oh
tidak usah, saya ikhlas kok Pak” jelas Tara, dengan senyum yang tak lupa ia
ciptakan.
Ia
tampak keberatan, tapi pada akhirnya mau menerimanya. Tara melanjutkan
bercakap-cakap dengan Bapak penjual tawas itu hingga adzan magrib berkumandang.
Wajah rentanya menunduk tampak menelan ludah. Jakun tuanya bergerak naik turun
seperti rindu akan siraman air pelepas dahaga.
“Bapak
puasa?”, tanya Tara. Lalu ia mengangguk, menandakan apa yang Tara tanyakan itu
benar adanya. Kemudian Tara menyerahkan sebotol air mineral beserta roti yang
telah ia beli sebelumnya kepada lelaki itu.
“Ini
saya ada air mineral sama roti Pak, saya tadi sengaja membeli lebih”, ungkap
Tara.
“Oh
tidak usah repot-repot, Nak. Itu milik kamu, lebih baik kamu bawa pulang”,
tegas Bapak.
Lalu
Tara membujuknya kembali agar ia mau menerima air mineral beserta roti pemberian
Tara itu. Akhirnya lelaki itu mau menerima pemberian Tara dan mengucapkan
terimakasih berkali-kali kepada Tara. Kemudian Tara pamit meninggalkannya untuk
menunaikan shalat magrib di Masjid Baitul Hakim.
Senja
kali ini, Tara tengah menikmatinya dibalik jendela kamar. Tara mengambil
kembali tawas yang waktu itu dibelinya. Sayup-sayup Tara mendengar percakapan
bersama Bapak penjual tawas beberapa minggu yang lalu. Wajah tuanya bersama
keranjang tawas kembali membayang di depan mata.
“Laa
haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhim. Tak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, Nak”, jawab Bapak itu ketika Tara
bertanya apa yang menjadikannya tetap bertahan berjualan meskipun sudah berusia
lanjut. “Setiap kekuatan, setiap harta, setiap ilmu, bahkan prestasi yang kita
raih pasti tidak lepas dari campur tangan Sang Kuasa, Nak. Rezeki yang saya
dapat kapanpun dan bagaimanapun bentuknya, asal saya mau mengusahakannya itulah
yang menguatkan saya sampai sekarang untuk tidak menengadahkan tangan di tepi
jalan. Setidaknya Saya tetap bisa memberikan kemanfaatan melalui tawas ini,
Nak”, sambungnya. Tara sangat tersentuh hatinya.
Selama
ini Tara menganggap bahwa apapun yang telah diraihnya itu berkat usaha kerasnya
sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Tara merasa sangat-sangat malu, karena
melihat orang setua itu saja masih mau berusaha agar tetap bisa menggenggam
rezeki dari-Nya. Sedangkan Tara sendiri selama ini hanya merengek-rengek dan
bermalas-malasan tetapi maunya mendapat hidup enak. Tara merasa beruntung
karena Allah telah mempertemukannya dengan lelaki itu. Kejadian itulah yang
membuat Tara berubah menjadi lebih baik, mau bekerja keras, dan selalu bersukur
atas apa yang dimilikinya.
Setiap
mengingat hal itu, Tara hanya senyum-senyum sendiri. Bukan hanya karena Tara
seberuntung itu, tetapi juga karena sebenarnya waktu itu Tara tidak membeli air
mineral dan roti berlebih, juga uang sepuluh ribu itu adalah uang terakhir yang
ada di dompet Tara.
*** Bersambung ***
Post a Comment
2 Comments
Mantul
ReplyDeleteSalam kenal mas..
Deletemantul mantul